Selamat Datang, di Blog : Http://andreas-samk.blogspot.com// Andreas Samak, ST LoveLove Nurul "Forever" Semoga Artikel yang sahabat cari ada di sini dan semoga bermanfaat. Goodluck !!!

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Monday 19 March 2012

Panglima Nayau, Pejuang Lingkungan

Panglima Nayau, Pejuang Lingkungan
Oleh Agustinus Handoko
Usianya sudah 94 tahun, tetapi Panglima Nayau masih bepergian ke beberapa kabupaten di Kalimantan Barat dalam hitungan hari untuk menengahi sengketa tanah adat dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Dia tak berniat istirahat sebelum melihat tanah adat di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia bebas dari sengketa.
Tak sulit mendapatkan informasi dari tuturan lisan masyarakat Kalimantan Barat tentang Panglima Nayau. Mereka, terutama generasi tua, bisa menjelaskan dengan singkat ketokohan Nayau.
Hal yang sulit adalah menjumpai Nayau karena kesibukannya bepergian ke berbagai kabupaten di Kalbar. Suatu kebetulan dan boleh disebut keberuntungan ketika bisa menemuinya di sela-sela ritual Gawai Dayak (pesta adat syukuran sehabis panen padi) di Kampung Tapang Sebeluh, Desa Malenggang, Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau, Kalbar.
Tokoh-tokoh adat Dayak di Kabupaten Sanggau memang masih menganggap dia tetua, apalagi gelar panglima sudah disandangnya sejak tahun 1971.
”Awalnya saya diangkat menjadi polisi batas ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia,” cerita Nayau.
Dia adalah salah satu tokoh masyarakat Dayak di perbatasan ketika konfrontasi terjadi. Ia memiliki pengalaman keluar-masuk wilayah Serawak sehingga mendapat kepercayaan menjaga perbatasan. Tugas utama Nayau saat itu menjadi intelijen.
”Tujuh kali saya tertangkap dan ditahan di Serawak, tetapi bisa bebas. Saya sebetulnya sudah beberapa kali dianggap mati oleh para pejuang, juga oleh kesatuan tentara yang menugaskan saya,” katanya.
Bagaimana Nayau bisa berkali-kali membebaskan diri dari tahanan pasukan Malaysia? ”Saya intel, tetapi mereka tak bisa membuktikan kalau saya intel. Saya ke Malaysia menyaru (menyamar) sebagai pedagang atau menemui kerabat,” ceritanya.
Setelah konfrontasi usai, Nayau kembali dipercaya menjadi intelijen saat tentara menumpas gerakan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) dan Pasukan Gerakan Rakyat Sabah (PGRS) yang tidak bersedia menyerahkan diri.
”Ketika menumpas Paraku, saya yang memetakan pos-pos dan kekuatan musuh di hadapan para komandan dan jenderal yang datang ke perbatasan,” katanya.
Nayau bertugas di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia antara Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Sintang. Walaupun wilayah tugasnya di kawasan itu, dia juga hafal seluk-beluk perbatasan Indonesia dengan Malaysia di Bengkayang, Sambas, dan Kapuas Hulu.
Pengabdian Nayau itu menghasilkan penghargaan dari Markas Besar Tentara Nasional Indonesia. Pada tahun 1971 ia mendapat gelar Panglima Perang Daerah Perbatasan berpangkat kehormatan pembantu letnan dua sebelum naik menjadi pembantu letnan satu pada tahun 1983.
Sipil
Nayau adalah contoh warga sipil yang nasionalis, mengabaikan rasa takut untuk mengabdi Indonesia. Nayau muda yang sama sekali tak mengenyam pendidikan formal itu pekerja keras. Beberapa tahun sebelum Jepang datang, ia bekerja di perkebunan milik Belanda.
Nayau dan warga di perbatasan tak begitu tahu kapan Soekarno dan Muhammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Pasalnya, Belanda dan Inggris masih menancapkan kekuasaannya di Kalimantan.
”Setelah Perang Dunia II selesai, saya bekerja di perkebunan di Malaysia. Kebanyakan dari kami, warga di perbatasan, tak tahu apakah sudah merdeka atau belum.”
”Saya belajar baca, tulis, dan berhitung ketika bekerja di perkebunan. Kami tak punya uang untuk belajar di sekolah umum,” katanya. Selama itu pula Nayau belajar memahami seluk-beluk hutan.
Ia mempelajari wilayah perbatasan yang dikuasai Inggris (kini wilayah Malaysia) dan Belanda. Pengetahuan inilah yang tak dimiliki banyak orang hingga Nayau dipercaya menjadi intelijen saat konfrontasi dengan Malaysia dan penumpasan Paraku-PGRS.
Kerusuhan
Nama Nayau kembali diperbincangkan saat pecah kerusuhan antaretnis di Kalbar pada tahun 1997. Kerusuhan yang mengatasnamakan etnis Dayak dan Madura itu menjadi salah satu lembar kelam sejarah negeri ini.
”Saya orang Dayak, tetapi saya tidak setuju kekerasan semacam itu,” tuturnya. Ia berperan penting menyelamatkan ratusan warga Madura di Kabupaten Sanggau yang dikejar-kejar sebagian orang Dayak.
”Kita sesama warga Indonesia. Mereka juga saudara kita,” ujarnya. Ketika itu, ia membawa warga Madura yang berdiam di sekitar perbatasan untuk menyingkir ke hutan.
”Dari Sanggau, mereka saya ungsikan ke Sintang, dan saya menjamin keamanan mereka. Kalau ada apa-apa dengan mereka, saya bilang, saya yang akan bertanggung jawab,” katanya.
Selain melindungi warga Madura secara langsung, ia juga berperan penting dalam merangkul kelompok-kelompok Dayak untuk berdamai.
Lingkungan
Hampir dua dekade ini Nayau menjadi pilar penting perjuangan masyarakat Dayak mempertahankan hak atas tanah dan hutan adat mereka. ”Musuh yang sekarang kami hadapi adalah perusahaan perkebunan yang ingin mencaplok tanah adat,” katanya.
Sudah puluhan kali ia menjadi mediator sekaligus ”diplomat” masyarakat adat dalam bernegosiasi dengan perusahaan perkebunan, terutama di kawasan perbatasan, mulai dari Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang, hingga Kapuas Hulu.
Pengetahuannya tentang seluk-beluk hutan, tanah, dan batas di sepanjang wilayah Indonesia-Malaysia menjadi modal penting dalam setiap negosiasi.
”Saya panggil temenggung (tetua adat setempat) dan pihak perusahaan. Kami lihat hak masing-masing, setelah itu pasti ketemu akar persoalannya di mana,” tutur Nayau.
Ia berkeras menjaga hutan di kawasan perbatasan, dengan melestarikan hutan adat. ”Kekuasaan” sebagai tokoh dan tetua adat Dayak digunakan Nayau untuk memengaruhi warga agar tak mengusik hutan yang tersisa.
Dalam usianya yang renta dan semua pengabdian itu, Nayau tetap bersahaja walaupun hidup dalam keterbatasan. Rumahnya di Tapang Sebeluh berdinding papan. Jalan sepanjang 40 kilometer dari ibu kota kecamatan ke rumah itu berupa jalan tanah yang tak bisa dilalui kendaraan saat hujan.
Pangkat tituler pembantu letnan satu yang disandang, seperti yang tertempel dalam seragam hijaunya, adalah penghiburannya. Pensiun tak dia peroleh karena sebagian surat untuk mengurus pensiun terbakar. Dengan insentif Rp 400.000 dari pemerintah, Nayau menjalani tugasnya sebagai pengabdi bangsa dari satu rezim ke rezim lain.
NAYAU
• Lahir: Sanggau, Kalimantan Barat, tahun 1916
• Istri: Munaih (50)
• Anak: 5 orang
• Cucu: 30 orang
• Cicit: 14 orang
• Penghargaan: - Satyalancana Peristiwa Gerakan Operasi Militer VIII/Dharmapala - Panglima Perang Pembersihan Paraku-PGRS - Mediator dan Penggagas Perdamaian dalam Kerusuhan Sosial tahun 1997
 

Panglima Nayau, Pejuang Lingkungan

Panglima Nayau, Pejuang Lingkungan
Oleh Agustinus Handoko
Usianya sudah 94 tahun, tetapi Panglima Nayau masih bepergian ke beberapa kabupaten di Kalimantan Barat dalam hitungan hari untuk menengahi sengketa tanah adat dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Dia tak berniat istirahat sebelum melihat tanah adat di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia bebas dari sengketa.
Tak sulit mendapatkan informasi dari tuturan lisan masyarakat Kalimantan Barat tentang Panglima Nayau. Mereka, terutama generasi tua, bisa menjelaskan dengan singkat ketokohan Nayau.
Hal yang sulit adalah menjumpai Nayau karena kesibukannya bepergian ke berbagai kabupaten di Kalbar. Suatu kebetulan dan boleh disebut keberuntungan ketika bisa menemuinya di sela-sela ritual Gawai Dayak (pesta adat syukuran sehabis panen padi) di Kampung Tapang Sebeluh, Desa Malenggang, Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau, Kalbar.
Tokoh-tokoh adat Dayak di Kabupaten Sanggau memang masih menganggap dia tetua, apalagi gelar panglima sudah disandangnya sejak tahun 1971.
”Awalnya saya diangkat menjadi polisi batas ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia,” cerita Nayau.
Dia adalah salah satu tokoh masyarakat Dayak di perbatasan ketika konfrontasi terjadi. Ia memiliki pengalaman keluar-masuk wilayah Serawak sehingga mendapat kepercayaan menjaga perbatasan. Tugas utama Nayau saat itu menjadi intelijen.
”Tujuh kali saya tertangkap dan ditahan di Serawak, tetapi bisa bebas. Saya sebetulnya sudah beberapa kali dianggap mati oleh para pejuang, juga oleh kesatuan tentara yang menugaskan saya,” katanya.
Bagaimana Nayau bisa berkali-kali membebaskan diri dari tahanan pasukan Malaysia? ”Saya intel, tetapi mereka tak bisa membuktikan kalau saya intel. Saya ke Malaysia menyaru (menyamar) sebagai pedagang atau menemui kerabat,” ceritanya.
Setelah konfrontasi usai, Nayau kembali dipercaya menjadi intelijen saat tentara menumpas gerakan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) dan Pasukan Gerakan Rakyat Sabah (PGRS) yang tidak bersedia menyerahkan diri.
”Ketika menumpas Paraku, saya yang memetakan pos-pos dan kekuatan musuh di hadapan para komandan dan jenderal yang datang ke perbatasan,” katanya.
Nayau bertugas di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia antara Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Sintang. Walaupun wilayah tugasnya di kawasan itu, dia juga hafal seluk-beluk perbatasan Indonesia dengan Malaysia di Bengkayang, Sambas, dan Kapuas Hulu.
Pengabdian Nayau itu menghasilkan penghargaan dari Markas Besar Tentara Nasional Indonesia. Pada tahun 1971 ia mendapat gelar Panglima Perang Daerah Perbatasan berpangkat kehormatan pembantu letnan dua sebelum naik menjadi pembantu letnan satu pada tahun 1983.
Sipil
Nayau adalah contoh warga sipil yang nasionalis, mengabaikan rasa takut untuk mengabdi Indonesia. Nayau muda yang sama sekali tak mengenyam pendidikan formal itu pekerja keras. Beberapa tahun sebelum Jepang datang, ia bekerja di perkebunan milik Belanda.
Nayau dan warga di perbatasan tak begitu tahu kapan Soekarno dan Muhammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Pasalnya, Belanda dan Inggris masih menancapkan kekuasaannya di Kalimantan.
”Setelah Perang Dunia II selesai, saya bekerja di perkebunan di Malaysia. Kebanyakan dari kami, warga di perbatasan, tak tahu apakah sudah merdeka atau belum.”
”Saya belajar baca, tulis, dan berhitung ketika bekerja di perkebunan. Kami tak punya uang untuk belajar di sekolah umum,” katanya. Selama itu pula Nayau belajar memahami seluk-beluk hutan.
Ia mempelajari wilayah perbatasan yang dikuasai Inggris (kini wilayah Malaysia) dan Belanda. Pengetahuan inilah yang tak dimiliki banyak orang hingga Nayau dipercaya menjadi intelijen saat konfrontasi dengan Malaysia dan penumpasan Paraku-PGRS.
Kerusuhan
Nama Nayau kembali diperbincangkan saat pecah kerusuhan antaretnis di Kalbar pada tahun 1997. Kerusuhan yang mengatasnamakan etnis Dayak dan Madura itu menjadi salah satu lembar kelam sejarah negeri ini.
”Saya orang Dayak, tetapi saya tidak setuju kekerasan semacam itu,” tuturnya. Ia berperan penting menyelamatkan ratusan warga Madura di Kabupaten Sanggau yang dikejar-kejar sebagian orang Dayak.
”Kita sesama warga Indonesia. Mereka juga saudara kita,” ujarnya. Ketika itu, ia membawa warga Madura yang berdiam di sekitar perbatasan untuk menyingkir ke hutan.
”Dari Sanggau, mereka saya ungsikan ke Sintang, dan saya menjamin keamanan mereka. Kalau ada apa-apa dengan mereka, saya bilang, saya yang akan bertanggung jawab,” katanya.
Selain melindungi warga Madura secara langsung, ia juga berperan penting dalam merangkul kelompok-kelompok Dayak untuk berdamai.
Lingkungan
Hampir dua dekade ini Nayau menjadi pilar penting perjuangan masyarakat Dayak mempertahankan hak atas tanah dan hutan adat mereka. ”Musuh yang sekarang kami hadapi adalah perusahaan perkebunan yang ingin mencaplok tanah adat,” katanya.
Sudah puluhan kali ia menjadi mediator sekaligus ”diplomat” masyarakat adat dalam bernegosiasi dengan perusahaan perkebunan, terutama di kawasan perbatasan, mulai dari Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang, hingga Kapuas Hulu.
Pengetahuannya tentang seluk-beluk hutan, tanah, dan batas di sepanjang wilayah Indonesia-Malaysia menjadi modal penting dalam setiap negosiasi.
”Saya panggil temenggung (tetua adat setempat) dan pihak perusahaan. Kami lihat hak masing-masing, setelah itu pasti ketemu akar persoalannya di mana,” tutur Nayau.
Ia berkeras menjaga hutan di kawasan perbatasan, dengan melestarikan hutan adat. ”Kekuasaan” sebagai tokoh dan tetua adat Dayak digunakan Nayau untuk memengaruhi warga agar tak mengusik hutan yang tersisa.
Dalam usianya yang renta dan semua pengabdian itu, Nayau tetap bersahaja walaupun hidup dalam keterbatasan. Rumahnya di Tapang Sebeluh berdinding papan. Jalan sepanjang 40 kilometer dari ibu kota kecamatan ke rumah itu berupa jalan tanah yang tak bisa dilalui kendaraan saat hujan.
Pangkat tituler pembantu letnan satu yang disandang, seperti yang tertempel dalam seragam hijaunya, adalah penghiburannya. Pensiun tak dia peroleh karena sebagian surat untuk mengurus pensiun terbakar. Dengan insentif Rp 400.000 dari pemerintah, Nayau menjalani tugasnya sebagai pengabdi bangsa dari satu rezim ke rezim lain.
NAYAU
• Lahir: Sanggau, Kalimantan Barat, tahun 1916
• Istri: Munaih (50)
• Anak: 5 orang
• Cucu: 30 orang
• Cicit: 14 orang
• Penghargaan: - Satyalancana Peristiwa Gerakan Operasi Militer VIII/Dharmapala - Panglima Perang Pembersihan Paraku-PGRS - Mediator dan Penggagas Perdamaian dalam Kerusuhan Sosial tahun 1997
 

Panglima Burung, Memicu Semangat Warga Bangsa


February 14, 2012 – 8:26 pm

KOMENG ANE : Siapa sangka sosok misterius yang jauh dari hingar bingar kehidupan duniawi ternyata mampu memicu keberanian dan kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya arti jati diri bangsanya. Semua yang terkait dengan simbol budaya, keharmonisan, hidup berdampingan dalam perbedaan adalah wujud sejati INDONESIA yang mutlak harus dipertahankan.
Berawal dari penolakan Dewan Adat Dayak (DAD) terhadap keberadaan FPI di Kalimantan Tengah menunjukkan ada sebuah tekad dan keberanian dari sebuah suku untuk mempertahankan kerukunan di tanah mereka.
Link berita penolakan : http://id.berita.yahoo.com/warga-day…113343496.html
(sebenarnya berita terkait ini bejibun, cukup satu aja ane pasang)

LANJUTAN KOMENG : Di dalam struktur masyarakat tradisional, keputusan penting suatu koloni/suku pasti diketahui oleh pemimpin tertinggi mereka. Demikian pula dengan DAD, keputusan yang diambil tentu tidak terlepas dari andil Panglima Burung sebagai pemimpin tertinggi. Beliau berperan atas sebuah keputusan simple namun mengena.
Terlepas dari kehidupan beliau yang tidak mabuk popularitas, keputusannya menolak FPI mampu "menyihir" masyarakat yang tadinya takut maupun pernah teraniaya menjadi berani menyuarakan kata hatinya. Kehidupan damai yang diidam-idamkan semua masyarakat perlu diwujudkan bersama-sama dengan sebuah tindakan, sekecil apapun itu.
Cintailah jati diri bangsa anda dimanapun anda lahir, dimanapun anda berpijak, didalam suku apa pun anda tumbuh, dan di tanah mana pun anda memperoleh makan dan minum. Karena itulah anugerah nyata untuk kita dari Sang Pencipta.

Berikut ini artikel tentang panglima burung (ane ambil dari sebuah sumber):
PANGLIMA BURUNG
Quote:

Ada banyak sekali versi cerita mengenai sosok panglima tertinggi masyarakat Dayak, Panglima Burung, terutama setelah namanya mencuat saat kerusuhan Sambas dan Sampit. Ada yang menyebutkan ia telah hidup selama beratus-ratus tahun dan tinggal di perbatasan antara Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Ada pula kabar tentang Panglima Burung yang berwujud gaib dan bisa berbentuk laki-laki atau perempuan tergantung situasi. Juga mengenai sosok Panglima Burung yang merupakan tokoh masyarakat Dayak yang telah tiada, namun dapat rohnya dapat diajak berkomunikasi lewat suatu ritual. Hingga cerita yang menyebutkan ia adalah penjelmaan dari Burung Enggang, burung yang dianggap keramat dan suci di Kalimantan.
Selain banyaknya versi cerita, di penjuru Kalimantan juga ada banyak orang yang mengaku sebagai Panglima Burung, entah di Tarakan, Sampit, atau pun Pontianak. Namun setiap pengakuan itu hanya diyakini dengan tiga cara yang berbeda; ada yang percaya, ada yang tidak percaya, dan ada yang ragu-ragu. Belum ada bukti otentik yang memastikan salah satunya adalah benar-benar Panglima Burung yang sejati.
Banyak sekali isu dan cerita yang beredar, namun ada satu versi yang menurut saya sangat pas menggambarkan apa dan siapa itu Penglima Burung. Ia adalah sosok yang menggambarkan orang Dayak secara umum. Panglima Burung adalah perlambang orang Dayak. Baik itu sifatnya, tindak-tanduknya, dan segala sesuatu tentang dirinya.
Lalu bagaimanakah seorang Panglima Burung itu, bagaimana ia bisa melambangkan orang Dayak? Selain sakti dan kebal, Panglima Burung juga adalah sosok yang kalem, tenang, penyabar, dan tidak suka membuat keonaran. Ini sesuai dengan tipikal orang Dayak yang juga ramah dan penyabar, bahkan kadang pemalu. Cukup sulit untuk membujuk orang Dayak pedalaman agar mau difoto, kadang harus menyuguhkan imbalan berupa rokok kretek.
Dan kenyataan di lapangan membuyarkan semua stereotipe terhadap orang Dayak sebagai orang yang kejam, ganas, dan beringas. Dalam kehidupan bermasyarakat, orang Dayak bisa dibilang cukup pemalu, tetap menerima para pendatang dengan baik-baik, dan senantiasa menjaga keutuhan warisan nenek moyang baik religi maupun ritual. Seperti Penglima Burung yang bersabar dan tetap tenang mendiami pedalaman, masyarakat Dayak pun banyak yang mengalah ketika penebang kayu dan penambang emas memasuki daerah mereka. Meskipun tetap kukuh memegang ajaran leluhur, tak pernah ada konflik ketika ada anggota masyarakatnya yang beralih ke agama-agama yang dibawa oleh para pendatang.
Kesederhanaan pun identik dengan sosok Panglima Burung. Walaupun sosok yang diagungkan, ia tidak bertempat tinggal di istana atau bangunan yang mewah. Ia bersembunyi dan bertapa di gunung dan menyatu dengan alam. Masyarakat Dayak pedalaman pun tidak pernah peduli dengan nilai nominal uang. Para pendatang bisa dengan mudah berbarter barang seperti kopi, garam, atau rokok dengan mereka.
Panglima Burung diceritakan jarang menampakkan dirinya, karena sifatnya yang tidak suka pamer kekuatan. Begitupun orang Dayak, yang tidak sembarangan masuk ke kota sambil membawa mandau, sumpit, atau panah. Senjata-senjata tersebut pada umumnya digunakan untuk berburu di hutan, dan mandau tidak dilepaskan dari kumpang (sarung) jika tak ada perihal yang penting atau mendesak.
Lantas di manakah budaya kekerasan dan keberingasan orang Dayak yang santer dibicarakan dan ditakuti itu? Ada satu perkara Panglima Burung turun gunung, yaitu ketika setelah terus-menerus bersabar dan kesabarannya itu habis. Panglima burung memang sosok yang sangat penyabar, namun jika batas kesabaran sudah melewati batas, perkara akan menjadi lain. Ia akan berubah menjadi seorang pemurka. Ini benar-benar menjadi penggambaran sempurna mengenai orang Dayak yang ramah, pemalu, dan penyabar, namun akan berubah menjadi sangat ganas dan kejam jika sudah kesabarannya sudah habis.
Panglima Burung yang murka akan segera turun gunung dan mengumpulkan pasukannya. Ritual–yang di Kalimankan Barat dinamakan Mangkuk Merah–dilakukan untuk mengumpulkan prajurit Dayak dari saentero Kalimantan. Tarian-tarian perang bersahut-sahutan, mandau melekat erat di pinggang. Mereka yang tadinya orang-orang yang sangat baik akan terlihat menyeramkan. Senyum di wajahnya menghilang, digantikan tatapan mata ganas yang seperti terhipnotis. Mereka siap berperang, mengayau–memenggal dan membawa kepala musuh. Inilah yang terjadi di kota Sampit beberapa tahun silam, ketika pemenggalan kepala terjadi di mana-mana hampir di tiap sudut kota.
Meskipun kejam dan beringas dalam keadaan marah, Penglima Burung sebagaimana halnya orang Dayak tetap berpegang teguh pada norma dan aturan yang mereka yakini. Antara lain tidak mengotori kesucian tempat ibadah–agama manapun–dengan merusaknya atau membunuh di dalamnya. Karena kekerasan dalam masyarakat Dayak ditempatkan sebagai opsi terakhir, saat kesabaran sudah habis dan jalan damai tak bisa lagi ditempuh, itu dalam sudut pandang mereka. Pembunuhan, dan kegiatan mengayau, dalam hati kecil mereka itu tak boleh dilakukan, tetapi karena didesak ke pilihan terakhir dan untuk mengubah apa yang menurut mereka salah, itu memang harus dilakukan. Inilah budaya kekerasan yang sebenarnya patut ditakuti itu.
Kemisteriusan memang sangat identik dengan orang Dayak. Stereotipe ganas dan kejam pun masih melekat. Memang tidak semuanya baik, karena ada banyak juga kekurangannya dan kesalahannya. Terlebih lagi kekerasan, yang apapun bentuk dan alasannya, tetap saja tidak dapat dibenarkan. Terlepas dari segala macam legenda dan mitos, atau nyata tidaknya tokoh tersebut, Panglima Burung bagi saya merupakan sosok perlambang sejati orang Dayak.
Amun ikam kada maulah sual awan ulun, ulun gen kada handak jua bahual lawan pian malah ulun maangkat dingsanak awan pian, begitu yang diucapkan orang Kalimantan khususnya orang Banjar untuk menggambarkan sikap dari orang-orang Dayak.

Ilustrasi :

INI INDONESIA BUNG

Panglima Burung, Memicu Semangat Warga Bangsa

Panglima Burung, Memicu Semangat Warga Bangsa


February 14, 2012 – 8:26 pm

KOMENG ANE : Siapa sangka sosok misterius yang jauh dari hingar bingar kehidupan duniawi ternyata mampu memicu keberanian dan kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya arti jati diri bangsanya. Semua yang terkait dengan simbol budaya, keharmonisan, hidup berdampingan dalam perbedaan adalah wujud sejati INDONESIA yang mutlak harus dipertahankan.
Berawal dari penolakan Dewan Adat Dayak (DAD) terhadap keberadaan FPI di Kalimantan Tengah menunjukkan ada sebuah tekad dan keberanian dari sebuah suku untuk mempertahankan kerukunan di tanah mereka.
Link berita penolakan : http://id.berita.yahoo.com/warga-day…113343496.html
(sebenarnya berita terkait ini bejibun, cukup satu aja ane pasang)

LANJUTAN KOMENG : Di dalam struktur masyarakat tradisional, keputusan penting suatu koloni/suku pasti diketahui oleh pemimpin tertinggi mereka. Demikian pula dengan DAD, keputusan yang diambil tentu tidak terlepas dari andil Panglima Burung sebagai pemimpin tertinggi. Beliau berperan atas sebuah keputusan simple namun mengena.
Terlepas dari kehidupan beliau yang tidak mabuk popularitas, keputusannya menolak FPI mampu "menyihir" masyarakat yang tadinya takut maupun pernah teraniaya menjadi berani menyuarakan kata hatinya. Kehidupan damai yang diidam-idamkan semua masyarakat perlu diwujudkan bersama-sama dengan sebuah tindakan, sekecil apapun itu.
Cintailah jati diri bangsa anda dimanapun anda lahir, dimanapun anda berpijak, didalam suku apa pun anda tumbuh, dan di tanah mana pun anda memperoleh makan dan minum. Karena itulah anugerah nyata untuk kita dari Sang Pencipta.

Berikut ini artikel tentang panglima burung (ane ambil dari sebuah sumber):
PANGLIMA BURUNG
Quote:

Ada banyak sekali versi cerita mengenai sosok panglima tertinggi masyarakat Dayak, Panglima Burung, terutama setelah namanya mencuat saat kerusuhan Sambas dan Sampit. Ada yang menyebutkan ia telah hidup selama beratus-ratus tahun dan tinggal di perbatasan antara Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Ada pula kabar tentang Panglima Burung yang berwujud gaib dan bisa berbentuk laki-laki atau perempuan tergantung situasi. Juga mengenai sosok Panglima Burung yang merupakan tokoh masyarakat Dayak yang telah tiada, namun dapat rohnya dapat diajak berkomunikasi lewat suatu ritual. Hingga cerita yang menyebutkan ia adalah penjelmaan dari Burung Enggang, burung yang dianggap keramat dan suci di Kalimantan.
Selain banyaknya versi cerita, di penjuru Kalimantan juga ada banyak orang yang mengaku sebagai Panglima Burung, entah di Tarakan, Sampit, atau pun Pontianak. Namun setiap pengakuan itu hanya diyakini dengan tiga cara yang berbeda; ada yang percaya, ada yang tidak percaya, dan ada yang ragu-ragu. Belum ada bukti otentik yang memastikan salah satunya adalah benar-benar Panglima Burung yang sejati.
Banyak sekali isu dan cerita yang beredar, namun ada satu versi yang menurut saya sangat pas menggambarkan apa dan siapa itu Penglima Burung. Ia adalah sosok yang menggambarkan orang Dayak secara umum. Panglima Burung adalah perlambang orang Dayak. Baik itu sifatnya, tindak-tanduknya, dan segala sesuatu tentang dirinya.
Lalu bagaimanakah seorang Panglima Burung itu, bagaimana ia bisa melambangkan orang Dayak? Selain sakti dan kebal, Panglima Burung juga adalah sosok yang kalem, tenang, penyabar, dan tidak suka membuat keonaran. Ini sesuai dengan tipikal orang Dayak yang juga ramah dan penyabar, bahkan kadang pemalu. Cukup sulit untuk membujuk orang Dayak pedalaman agar mau difoto, kadang harus menyuguhkan imbalan berupa rokok kretek.
Dan kenyataan di lapangan membuyarkan semua stereotipe terhadap orang Dayak sebagai orang yang kejam, ganas, dan beringas. Dalam kehidupan bermasyarakat, orang Dayak bisa dibilang cukup pemalu, tetap menerima para pendatang dengan baik-baik, dan senantiasa menjaga keutuhan warisan nenek moyang baik religi maupun ritual. Seperti Penglima Burung yang bersabar dan tetap tenang mendiami pedalaman, masyarakat Dayak pun banyak yang mengalah ketika penebang kayu dan penambang emas memasuki daerah mereka. Meskipun tetap kukuh memegang ajaran leluhur, tak pernah ada konflik ketika ada anggota masyarakatnya yang beralih ke agama-agama yang dibawa oleh para pendatang.
Kesederhanaan pun identik dengan sosok Panglima Burung. Walaupun sosok yang diagungkan, ia tidak bertempat tinggal di istana atau bangunan yang mewah. Ia bersembunyi dan bertapa di gunung dan menyatu dengan alam. Masyarakat Dayak pedalaman pun tidak pernah peduli dengan nilai nominal uang. Para pendatang bisa dengan mudah berbarter barang seperti kopi, garam, atau rokok dengan mereka.
Panglima Burung diceritakan jarang menampakkan dirinya, karena sifatnya yang tidak suka pamer kekuatan. Begitupun orang Dayak, yang tidak sembarangan masuk ke kota sambil membawa mandau, sumpit, atau panah. Senjata-senjata tersebut pada umumnya digunakan untuk berburu di hutan, dan mandau tidak dilepaskan dari kumpang (sarung) jika tak ada perihal yang penting atau mendesak.
Lantas di manakah budaya kekerasan dan keberingasan orang Dayak yang santer dibicarakan dan ditakuti itu? Ada satu perkara Panglima Burung turun gunung, yaitu ketika setelah terus-menerus bersabar dan kesabarannya itu habis. Panglima burung memang sosok yang sangat penyabar, namun jika batas kesabaran sudah melewati batas, perkara akan menjadi lain. Ia akan berubah menjadi seorang pemurka. Ini benar-benar menjadi penggambaran sempurna mengenai orang Dayak yang ramah, pemalu, dan penyabar, namun akan berubah menjadi sangat ganas dan kejam jika sudah kesabarannya sudah habis.
Panglima Burung yang murka akan segera turun gunung dan mengumpulkan pasukannya. Ritual–yang di Kalimankan Barat dinamakan Mangkuk Merah–dilakukan untuk mengumpulkan prajurit Dayak dari saentero Kalimantan. Tarian-tarian perang bersahut-sahutan, mandau melekat erat di pinggang. Mereka yang tadinya orang-orang yang sangat baik akan terlihat menyeramkan. Senyum di wajahnya menghilang, digantikan tatapan mata ganas yang seperti terhipnotis. Mereka siap berperang, mengayau–memenggal dan membawa kepala musuh. Inilah yang terjadi di kota Sampit beberapa tahun silam, ketika pemenggalan kepala terjadi di mana-mana hampir di tiap sudut kota.
Meskipun kejam dan beringas dalam keadaan marah, Penglima Burung sebagaimana halnya orang Dayak tetap berpegang teguh pada norma dan aturan yang mereka yakini. Antara lain tidak mengotori kesucian tempat ibadah–agama manapun–dengan merusaknya atau membunuh di dalamnya. Karena kekerasan dalam masyarakat Dayak ditempatkan sebagai opsi terakhir, saat kesabaran sudah habis dan jalan damai tak bisa lagi ditempuh, itu dalam sudut pandang mereka. Pembunuhan, dan kegiatan mengayau, dalam hati kecil mereka itu tak boleh dilakukan, tetapi karena didesak ke pilihan terakhir dan untuk mengubah apa yang menurut mereka salah, itu memang harus dilakukan. Inilah budaya kekerasan yang sebenarnya patut ditakuti itu.
Kemisteriusan memang sangat identik dengan orang Dayak. Stereotipe ganas dan kejam pun masih melekat. Memang tidak semuanya baik, karena ada banyak juga kekurangannya dan kesalahannya. Terlebih lagi kekerasan, yang apapun bentuk dan alasannya, tetap saja tidak dapat dibenarkan. Terlepas dari segala macam legenda dan mitos, atau nyata tidaknya tokoh tersebut, Panglima Burung bagi saya merupakan sosok perlambang sejati orang Dayak.
Amun ikam kada maulah sual awan ulun, ulun gen kada handak jua bahual lawan pian malah ulun maangkat dingsanak awan pian, begitu yang diucapkan orang Kalimantan khususnya orang Banjar untuk menggambarkan sikap dari orang-orang Dayak.

Ilustrasi :

INI INDONESIA BUNG

Panglima Burung, Memicu Semangat Warga Bangsa

Ngayau ( Nyerang munsuh)Ditusun ari : John adam Gilbert


Ngayau ( Nyerang munsuh)Ditusun ari : John adam Gilbert

Siti agi adat tauka pengawa kitai iban menya 
ke agi dalam pengingat sida ke tuai enggau ke biak diatu ianya adat
 "NGAYAU" tauka nyerang numbang ke menua munsuh. Nyadi
 menya ko jerita, kitai iban ke dulu agi ada ke dunya tu, enda
 nemu ngembuan adatnya. Laban suba kitai iban idup ngenduh
 kediri diau belalai sebelah lubang batu tauka ba lubang bandir 
kayu, sebedau kitai ke nemu begaga ke rumah panjai. Enti
 kitak udah macha asal iban nemu berumah panjai ba blog aku
tu, nemu kitak bakani ko terubah bansa kitai nemu begaga
 ke rumah. Nya alai ba baruh tu meh kitak ulih macha
 pengawa ngayau.....



Nama Reti Pengawa Ngayau

Ngayau tu iya nya siti ari pengawa dalam adat asal bansa 
Dayak Iban kelia ka bepun ari penatai asal bansa Dayak
 Mengayau ari menoa Kalimantan Barat, Indonesia. Nyadi 
pengawa ngayau tu iya nya kena nyebut orang ke
 mansang nyerang menoa orang bukai ke dikumbai
 “Kayau Serang” enggau siti agi bansa kayau nya 
dikumbai orang "Kayau Anak" ke balat di ketakut ka
 orang kelia. Lalu reti “Kayau Serang tu iya nya bala 
sida mansang bebai ka bala maioh ngagai menoa 
munsoh ka ka dialah ka sida, lalu ngena aum nesau 
bala orang ari rumah panjai bukai. Lalu reti "Kayau 
Anak" tu dikereja orang ke nurun mansang ngayau 
betuboh mimit kira ka nadai sampai dua puluh iko. 
Sida iya nurun ngayau ngipa orang orang ke 
mansang turun ngagai umai, orang ke benong mandi, 
oeang ke benong begiga ka paku tubu tauka benong 
mansai nubai. Sida iya nadai tentu ngena batang aum 
tang ngereja pengawa tu ngena chara ngerampas. 
Nya alai kitai kala ninga ba cherita tuai, orang kelia
 ke mansang ka umai sigi bisi dijaga lalu disempulang 
bala pungka lelaki laban nangi ka diri ulih bunoh 
orang laban kayau anak. Uji bancha kita ba cherita 
“Peturun Iban” ba bagi “Bansa Seru” ke bisi ngenang 
uchu Demong ke nyadi ketuai bansa Iban ba menoa 
Paku ke benama Belaki, ke parai dikayau anak bansa 
Seru leboh sida bumai ba menoa ke dikumbai Tanjung 
Kundong benong sida turun mantun. Sama mati 
enggau iya, iya nya bini iya ke benama Beremas 
(Menyadi Uyut bensumbar Bedilang Besi) enggau
 ipar iya ke benama Kadir

Tang bansa Seru nya ulih digagai ka bala pungka 
lelaki sida serumah ke benama Jimbai, Umar, Jelema
 enggau Buma, lalu mati di bunoh benong bansa 
Seru nya ngetu niki buah engkeranji ba menoa Bukit 
Tampak Panas ke nyau ikak rari naban ka pala Belaki.

Leboh udah pulai ngayau tu, orang ke udah menang 
ngalah ka munsoh lalu enda tau enda mumpong pala 
munsoh ke udah mati dibunoh sida sereta lalu 
ngerampas reta tengkira munsoh sereta mega lalu 
nangkap bala munsoh ke agi bedau idup nya lalu 
dibai pulai diambi nyadi ka ulun sida leboh munsoh
 nya tadi udah datai ba menoa sida ke udah menang
 ngayau nya. Lalu kala mega sida ke ngayau tu lalu 
ngambi anak umbong munsoh sida nyadi ka bini.

Lalu kebuah sida ka mumpong pala munsoh sida nya,
 lalu mesti mai pala munsoh nya pulai ka rumah panjai sida empu,
 laban nya mandang ka gaya pemerani ati, pengering enggau 
penyikar bala orang ke udah menang pulai ngayau nya tadi. 
Lalu sida ke udah kala mumpong pala munsoh tu dikumbai
 kitai bansa Dayak Iban “Bedengah” lalu sida tu mega lalu 
dikumbai orang maioh nyadi “Bujang Berani”

Nyadi cherita Ngayau tu kala udah ditulis ba surat oleh 
Karya Bock dalam taun 1881 ke dikumbai iya 
"The Head Hunters Of Borneo" ti ngenang madah ka bansa
 Dayak Iban nya siti ari raban bansa ke nguan pulau Borneo
 ka selalu beberita laban berani sereta mutus ati berambun
ka nyawa diri empu ketegal ti ka ngulih ka pemaioh pala 
munsoh ke ulih dialah ka sida menya ka lalu tau ngangkat
 ka nama sida iya nyadi ketuai raban bansa.
Kebuah pengawa ngayau tu dikereja mega bepun ari pengawa
 ke ngetas ulit pemati orang ba menoa nya. Lalu sebedau ulit nya
 diketas, dia orang ka nyadi kaban belayan iya ke udah parai
 nya lalu mai sida serumah baum ka mansang bejalai ka ulit. Laban
 nitih ka adat asal bansa Iban kelia orang ke bejalai ka ulit nya sigi
 ngiga pala munsoh ti lalu dibai sida iya pulai ke menoa,
 lalu dipanjong ka sida ba pala tangga leboh sida iya datai ba 
rumah panjai diri empu, ke lalu dikumbai orang “Mangka Ka 
Selaing” ti lalu ditimbal enggau palu setawak orang ke dirumah 
sereta ditiki ka sida iya baka adat orang niki ka bujang berani. 
Pala munsoh ke baru ulih nya lalu disambut orang ka indu
 ngena chapan tauka chapak batu, beserayong ka pua 
kumbu lalu disambut ngena jako ansah nyambut antu pala.

Udah nya baru sida serumah “Naku Antu Pala” nya niti rumah,
 nyentok ka nyau datai ba ruai orang ke ngulit nya tadi. Udah antu
 pala nya datai ba ruai orang ka ngulit, nya baru ulit diketas. 
Tembu ulit diketas dia antu pala nya tadi lalu dibai ngagai ruai 
tuai ba rumah panjai nya, lalu diengah ba bedilang tampun 
sereta lalu terus disalai, dikembuan nyadi ka pesaka bujang
 berani kena nyilih pemarai sida serumah nya tadi. Udah nya 
baru sida serumah nya niri ka “Gawai Enchaboh Arung”

Nyadi ketegal pengempang, pengering, penyikar sereta 
pemerani ati dia bansa Iban kelia lalu majak ngereja pengawa
 ngayau tu ketegal ti ka bebalas ka pemarai pangan diri ke udah 
dibunoh orang bukai enggau nadai bepenyalah. Lalu sida ke 
ngayau tu mega ketegal ti berebut ka menoa, berebut ka 
nyadi tuai, sereta ka ngerampas reta tengkira pangan diri. Lalu 
sapa ke menang udah bekau ngereja pengawa ngayau baka
 tu lalu dikumbai orang bujang berani sereta ka tampak rita,
lalu dipebasa ka mensia maioh nyadi ke tuai sida ba menoa nya.

Lalu orang ke udah nyadi bujang berani nya tadi, udah ke 
pulai ngayau lalu ngaga “Ukir” tauka “Kelingai” ba tuboh 
diri, sereta lalu tau ngena “Ketapu” tauka “Selapok
 Betunjang” ka bisi diselit sida ngena bulu burong ruai, 
tajai tauka kenyalang. Sida mega lalu ngena “Gagong”
ri digaga ari kulit jugam, engkuli, rimau raras tauka remaung dan.

Nyadi orang ke ka mansang nurun ngayau tu kelia mega 
mesti ngena mimpi sereta beburong sebedau sida iya nurun 
ngayau tauka beban ka perau pengayau ke ka dikena sida.
 Semoa pengawa sida mega dipun ka dulu ngena piring 
kena nganggau ka “Tua” tauka petara bukai ti selalu ngemata 
ka bala bujang berani nya leboh ngayau.

Nitih ka kenang ti ditulis Miller dalam taun 1946 ba 
surat ti dikumbai iya “Black Borneo”. Iya mega bisi 
nyebut madah ka bala bujang berani ke nurun ngayau
 nya bisi ngembuan pengering, penyikar sereta pemerani
 ati ti nyelai ke di ka nadai dikembuan bala mensia maioh. 
Lalu mega siti ari utai ke bisi nyelai udah nyadi ba sida ka 
bujang berani nya mega, sida iya baka ka bisi ngembuan 
kuasa bukai ti enda temu penatai udah bekau sida iya
 bedengah pala munsoh. Lalu nitih ka ba pengarap bansa
 asal kitai Iban kelia iya nya “Antu Pala” tu maioh guna 
sereta tau nulong orang ke ngembuan nya, enti antu pala
 nya di ibun sereta di intu enggau manah. Antu pala mega 
tau dikena orang begawai ka orang ti sakit (Gawai Burong),
 lalu tau mega ulih kena ngubat orang ke sakit nya tadi. 
Antu pala mega kala dikena orang ke bumai ngasoh hari 
hujan enti leboh hari udah kelalu lama kemarau. Lalu enti 
antu pala nya enggai nyadi agi dikena sida ngereja utai ke
 baka tu, nya meh siti ari kebuah ti ngujong ka sida nurun
 ngayau laban ka ngiga pala munsoh ti baru, ke tau diguna 
baka nya tadi. Antu pala mega tua diadu ka orang ti
 bepenemu kena sida iya nyaga rumah, tauka jaga umai ari ti
 kena kachau jelu.

Nitih ka surat ti ditulis Mc Kinley dalam taun 1976, iya 
nanya nama kebuah orang ke ngayau tu enda tau enda
 bulih pala munsoh, tang enda betanda ka bagi tuboh
 kitai mensia ke bukai. Lalu ka penemu iya kebuah kitai 
bansa Iban temegah ati enti udah pulai ngayau lalu bulih
 pala munsoh, laban kitai Iban arap ka pala nya sigi baka
 reti tuboh orang ke udah dibunoh nya. Laban ari pala 
nya tadi kitai nyamai ngelala gamal orang ke udah mati nya 
sereta nyamai alai ngingat ka ni bagi kaban belayan
munsoh ke udah nyadi ka dengah nya.

Dalam pengawa Ngayau tu mega bala pungka lelaki bansa Iban, 
ulih mandang ka pemerani, pengering sereta penyikar sida iya
 belaban bunoh enggau munsoh. Ti meransang sida iya ka
 ngiga diri empu dikumbai orang “Bujang Berani”. Laban 
nitih ka cherita tuai kelia, sapa ke udah nyadi “Bujang
 Berani” sigi endang diperebut lalu dipilih orang indu nyadi 
ka laki sida tauka diterima bala tuai kayau, tauka orang 
kaya raja nyadi ka menantu sida leboh maia sida 
besabong ka jako belaki bebini.
Ngayau tu nitih ko cherita tuai, dipungkal bala sida Keling
 ari menoa Panggau Libau Lendat Di Biau Takang Isang 
ke lalu alai iya bulih ensumbar digela orang
 “Keling Gerasi Nading, Bujang Berani Kempang,
Maioh Rambang”. Lalu pengawa ka mupong pala 
munsoh nya keterubah iya dikereja Lang Sengalang 
Burong leboh maia sida iya ke betempoh ngelaban 
bansa Ribai ba Tasik Besai. Lalu ketegal pengeringat ati 
maia ka ngayau nya, Lang Sengalang Burong lalu mepat
 bangkai munsoh, ke lalu di pumpong iya pala munsoh 
beserara ari bukang, ti lalu ditaban sereta lalu dibai iya
 pulai ka rumah enggai ka diri empu dikumbai orang
 indu ba menoa Gelong Batu Nakong ukai Bujang Berani
 leboh ngayau nya.





Pengawa Sebedau Nurun Ngayau
Sebedau orang nurun ngayau, sida serumah dulu
 betesau mai baum ngagai orang ari rumah bukai ke 
sama genturong pendiau enggau sida, tauka rumah 
orang ke semakai enggau sida ba semoa pengawa 
lantang tauka tusah. Udah putus aum, sida iya lalu 
bebai beban ngaga “Perau Kayau” ti digaga numbas 
iya pemesai nitih ka gaya penymapau pemaioh
 tuboh sida ti ka nurun mansang ngayau nya. Sida
 mega lalu nyendia ka diri ngamboh duku ilang sereta lalu 
begaga ka terabai ari kayu ti ampul sereta liat ngulih
 ka nyamai dibai sida mindah maia betempoh nya ila.
Udah semoa utai nya tembu magang sida iya lalu
 nimpoh maia sida ke ka nurun mansang ngayau lalu 
madah ka kini ka tungga menoa munsoh sida. 
Seminggu sebedau nurun ngayau bala orang ke indu
 sigi udah nyendia ka rengka ka dikena sida iya bedara. 
Sida ke lalaki pan nurun begiga ka lauk sereta pengaruh
 ka tau dikena sida nurun ngayau. Sehari sebedau sida 
nurun ngayau, sida iya dulu agi ngelulun asi pulut ti lalu 
nyadi ka bekal sida ba serantu jalai. Lalu malam sebedau
 sida nurun ngayau, sida iya lalu begempuru ba rumah tuai
 kayau laban sida ka bedara sereta miring ngangau ka tua diri, 
tauka bala petara bukai. Lalu ngayan ka semoa pengaruh ke
 dikena sida nurun ngayau.

Bala orang ke tuai lalu milih sapa bagi pungka lelaki ke patut 
tau dibai nurun ngayau laban enggai ka sida iya tau parai lesi bebadi,
 puri rimpi leboh ngayau nya ila. Bala tuai kayau lalu nudoh sida 
ke enda enggau nurun ngayau nya ngemata ka bala indu anembaik 
ti tinggal di menoa laban nangi enggai ka rumah sida tau kena 
serang bala munsoh bukai sekumbang sida ke nadai di rumah.

Leboh sida bedara ngayan ka pengaruh kena ngayau sereta
nganggau ka tua enggau petara bukai, dia sida lalu nyendia 
ka rengka piring baka ka dirintai dibaroh tu:
1.Tujoh pinggai asi pulut,
2.Tujoh pinggai tumpe ke digaga ari beras amat bechampur
 enggau beras pulut,
3.Tujoh pinggai rendai (letup),
4.Tujoh igi telu manok,
5.Siti tabak ti alai nyimpan: (a) Sirih, (b) Engkelait, 
(c) Ruku apong, (d) Kapu, (e) Buah Pinang, (f) Semakau,
 (g) Tujoh iti setupat ke digaga ari beras amat begulai enggau asi pulut, 
(h) Tujoh iti setupat ke digaga ari beras chelum.
6.Siti pinggai penganan iri, penganan cap enggau 
penganan tatuk (penganan jala),
7.3 iti kersang segala tauka segi empat ti digaga ari buloh,
8.2 iko babi nadai ngira nya lelaki tauka indu,
9.Sigi antu pala,
10. Sigi buah nyiur,
11. Ai tuak.
12.Kain ti lalu nyadi ka setunggol maia ngayau.

Nyadi malam nya semoa pungka lelaki ke ka enggau nurun
 ngayau lalu diasoh duduk bedigir ba ruai tuai kayau lalu 
begempuru makai lemai nya. Udah piring turun tujoh tembu 
diadu ka dia orang ke dipadu tuai kayau bebiau lalu berengkah
 miau piring nya tadi. Manok ke dikena bebiau nya lalu dibiau
 ka tiga kali ba setiap iko bala pungka lelaki nya tadi kena
 nyampi ka bala sida iya gayu guru, gerai nyamai, embab lindap,
 nadai apa nama sekumbang ke ngayau nya. Tuai Kayau lalu muai
 ai tuak ti diberi ka petara tujoh kali, laban ngarap ka bala
 petara sida nya bisi nyangkong leboh maia nurun ngayau.

Lalu reti asi pulut nya ba rengka piring, nyampi ka semoa
 bala pungka lelaki ka nurun ngayau nya tau besaum penemu
 lalu begulai sejalai dalam kayau nya. Lalu reti sida ka ngirup
 sereta miring ngena tuak nya ngarap ka semoa sida ke nurun 
ngayau nya kering lalu mutus ati ngelaban munsoh. Lalu reti sida 
ka miring nya ngena tumpe ngelulu ka ati sida iya lurus leboh
 ngayau nya, lalu sida ke nabur rendai (letup) nya ngelulu ka 
orang ari Panggau Libau bisi enggau sida ngereja pengawa.
 Lalu baka nya mega baka ruku apong, sirih, sereta rengka 
piring ka bukai lalu digaga sida turun lima magang, disimpan 
dalam keresang lalu diengkah sida ba tiang pemun rumah 
panjai nya tau ka diengkah sida iya ba tiang ranyai ngambi
 ka bisi ditemu orang Panggau Libau ke dikangau ka sida
 leboh ti datai miring nya tadi.


Penurun Sida Ke Mansang Ngayau
Leboh sida ke nurun mansang ngayau, dia tuai kayau lalu miau 
semoa bala anembiak iya enggau semoa rengka ke ka dibai
 sida nya nurun ngayau ngarap ka semoa pengawa ke ka 
dikereja bala sida nya mujor sereta bulih pengelantang belama. 
Tuai Kayau lalu nyayat manok nya ba pala tangga rumah
 panjai sida sereta lalu ngenselan semoa pungka lelaki ke ka
 nurun mansang ngayau nya ngena darah manok nya tadi, 
sereta lalu nata bulu manok ka dichulit ke iya ba darah manok
 ba kening semoa bala sida laban ngarap ka semoa sida iya nya 
nadai bulih penusah.
Bala pungka lelaki ka nurun ngayau nya lalu mai semoa rengka 
sida sereta lalu dipanjap ka babi siko ba kaki tangga rumah
 panjai nya, nyampi ka orang Panggau Libau bisi datai mansang
nulong sida leboh maia nurun ngayau. Bala sida ke nurun
 ngayau nya pan lalu Ngayau nitih ka gaya aum sida laban 
enggai ka kayau sida rumbau. Lalu antu pala tauka buah nyiur 
ke dibai sida nya ngelulu ka sida iya ka bulih pala munsoh baru
 kena nambah ke iya ti udah nya. Leboh sida ke ngayau nya dia
 semoa pala munsoh ke udah alah laban sida lalu dipumpong 
magang sereta dibai pulai ke menoa nyadi ka “Dengah Bujang Berani”.

Leboh sida udah mujor pulai ngayau lalu datai ba pendai, 
dia sida iya lalu enggau panjong-panjong madang ka pengaga
 ati diri sereta ngajat, ransing ati ka diri empu ti udah menang 
lalu mai pala munsoh pulai ka rumah. Datai sida iya ba pala
 tangga dia semoa pala 
munsoh lalu diengkah dalam chapan nganti orang ke indu datai
 nyambut pala munsoh ka ulih laki sida. Bala Lemambang sereta 
enggau Orang Indu Ke Tau Takar Tau Gar, Nemu Betenun
 Landik Ngembun lalu nanya gaya penjalai sida ngena leka 
renong enggau jako ansah orang ka pulai ngayau laban enggai ke 
sida nya tadi bisi enda manah burong ba rantu jalai sekumbang ke
 pulai ari ngayau nya tadi. Sida lalu miring ba pala tangga, lalu semoa
 piring nya turun tiga. Semoa piring nya lalu diengkah sida ba 
keresang, sereta diengkah ba pala tangga nya ngambi ka bisi 
dipeda orang Panggau Libau ke udah nulong sida. Lalu piring
 tu enda tau dikachau dalam timpoh pengelama tiga hari.


Penama Sida Pulai Ka Rumah Panjai
Udah nya tadi dia orang lalu nyendia ka dulang ti dikena 
orang ngembun ba pala tangga sereta lalu diengkah ka 
batu perunsut, leka batu pelaga enggau ai penchelap. Semoa
 bini Bujang Berani lalu diasoh nyambut dengah laki sida
 ngena chapak batu lalu tuboh sida diserayong ngena pua
 kumbu, ngambi ka antu pala nya dibai tama rumah. Kebuah
 baka nya laban ngarap ka laki sida iya agi tau bulih dengah 
baru sereta sida ke bini pan enda alah ayu lalu tampak rita 
ketegal pemerani laki sida leboh udah pulai ngayau nya tadi.
Orang ke tinggal dalam rumah lalu begendang rayah, 
sereta lalu ditampong ka enggau gendang ajat. Sebedau 
sida tama dalam rumah panjai nya dia sida iya dulu agi
 mangka ka selaing ngena panjong tujoh rengat. Udah sida 
mangka ka selaing nya baru sida iya tama ssereta lalu
 nyepoh ka tapa kaki sida dalam dulang nya tadi. Nyadi batu 
perunsut dalam dulang nya ngelulu ka semoa utai ti jai udah
 bekau kereja sida ke ngayau nya lalu tepantup dia. Nyadi 
leka batu pelaga nya ngelulu ka pendiau sida ila majak
 tampak baka perenching pelaga nya lalu enda mudah luya. 
Nyadi ai penchelap nya ngarap ka semoa sida ti pulai ngayau 
nya bulih penchelap. Lalu kebuah semoa utai nyau diengkah 
dalam dulang ke dikena orang ngembun laban kena nyepuh
 semengat sida ti udah liar bekau ke udah ngayau nya tadi.

Udah nyepoh ka tapa kaki dalam dulang nya, sida lalu 
numpu pala tangga kena nyampi ka sida iya enda tau alah ayu 
laban pala munsoh ka udah ulih sida, lalu bedau baka selama
 nguan menoa. Leboh tama dalam rumah panjai nya sida lalu
 berayah niti rumah sereta lalu ngajat, lalu bala orang ke indu 
mega sama naku antu pala ke baru ulih nya. Sida pan lalu rami 
gaga ka diri udah menang pulai ngayau. Semoa orang ke
 pulai ngayau nya lalu begempuru ba ruai Tuai Kayau, lalu dibiau
 tuai kayau ngambi ka semoa sida tau bulih pengelantang. Manok 
ka dikena bebiau nya lalu dibunoh sereta darah nya lalu dikena
 iya nata semoa kening sida bujang berani enggau semoa antu pala
 ke baru ulih nya tadi ngambi ke serasi, lalu enda ngachau
tauka ngalah ka ayu pangan diri. Antu pala nya lalu diengkah
 sida iya ba atas bedilang ngambi ka lalu disalai ba tampun ruai Tuai Kayau.

Udah tembu nya sida lalu niri ka gawai “Sandau Hari” lalu
 ditangkan ka enggau “Gawai Enchaboh Arong” kena sida
 iya ngupas diri udah bekau pulai ngayau. Leboh sida ke
 begawai nya, sida lalu ngajat ngelingi ranyai ke endor sida 
engkah antu pala sereta bala lemambang lalu mengap, 
berenong enggau nimang jalong ka bala "Bujang Berani" 
nya ke alai sida iya lalu diberi ngirup “Ai Jalong Timang” 
sereta lalu ditanya tauka lalu diberi bala Lemambang
 ensumbar ke tanda sida udah nyadi “Bujang Berani”.

Lalu bisi mega orang ke ngereja pengawa ngayau tu 
ngena chara “Bejalai Ka Bungai Jarau”. Reti ngayau ke 
baka tu iya nya ketegal ti berumban ka bebalas ke 
munsoh ti udah munoh tauka nyerang menoa sida. Sida
 ke ngayau baka tu lalu nesau orang ari rumah bukai 
ngena chara ngasoh pungka lelaki ba rumah sida nya 
nurun mai siti mangkok batu ke lalu disimpan ka darah
manok enggau bulu manok. Reti pejalai pungka lelaki 
ke baka tu, nya nanda ka ba menoa sida iya udah kena 
tuntong penusah ka besai bendar lalu minta bantu
 enggau jampat laban ka bebalas ketegal pemarai bala sida.
 Udah ke nerima tesau baka tu dia orang ba rumah panjai
 bukai ke ditesau nya lalu betulong nyambong pejalai ngenatai
 ka Bungai Jarau nya ngagai rumah ke serimbai pendiau
 enggau sida, ke lalu ditampong menampong ngagai rumah
 bukai ba menoa nya. Udah semoa sida ke nyambut tesau
 Bungai Jarau nya lalu enda tau enda beguai ngesah 
ngagai rumah orang nya tadi laban ka nemu nama 
bansa bantu ke patut dikereja sida.
Sida lalu baum, sereta orang ke nyadi tuai kayau lalu milih 
sapa bagi pungka lelaki ke patut dibai sida nurun ngayau, 
baka reti nitih ka adat orang ke nurun ngayau ngena “Kayau 
Serang”. Nyadi cherita pengawa ke ngayau “Bejalai Ka Bungai
 Jarau” tu ditampong aku ari tusoi kaban aku ke datai ari 
menoa Putus Subau, Kalimantan Barat, Indonesia leboh 
sida iya bansa Dayak Sanggau ke kena tuntong penusah
 bebalas ngayau bansa Madura dalam taun 1996 tu tadi.

Lalu bansa Dayak bukai ke bisi kala ngereja pengawa 
Ngayau tu iya nya bansa Dayak Ngau, Dayak Maanyan,
 Dayak Meratus, Dayak Kahayan, Dayak Mengayau, 
Dayak Kenyah, lalu bansa Dayak ke balat tebilang bendar
 rita ngereja pengawa ngayau tu iya nya bansa Dayak Iban
 di menoa Sarawak.
Nyadi pengawa Ngayau tu diketu ka ari atur perintah menoa 
Indonesia ke dipegai bansa Belanda ti dikumbai sida iya
 “Perjanjian Tumbang Anoi” ba menoa Damang Batu 
dalam taun 1874. Lalu baka nya mega ba menoa
 Sarawak pengawa Ngayau tu diketu ka perintah nitih
 ka atur Perintah Menoa Sarawak ti dipegai Raja Vyner 
Brooke dalam taun 1932 udah bekau perintah ke ngayau
 ngalah ka tuai bansa Iban ke benama Asun, Kana
 enggau Kendawang dalam menoa Ulu Batang Ai nitih
 ka tampung ba cherita ti ditulis niang Benedict Sandin 
ba surat ti dikumbai iya “Peturun Iban” dalam taun 1962.